Diingatnya kembali kejadian itu.
Tak tahu berapa lama dia tidur melungker di dalam sarung kumalnya itu hingga suara itu datang.
“ Min, Samin, bangun Min. Sudah Subuh, ayo sholat . . jama’ah. 27 derajat. . ”
Suara itu adalah suara yang sangat ia kenal, Kyai Fuad, maha guru kesayangannya. Segera ia tarik sarung kotak – kotak itu dan terlihatlah Kyai Fuad sedang membenahkan baju koko putih dan sorban putih kesayangannya. Samar – samar ia melihat Kyai Fuad juga memakai sarung hijau kotak – kotak pemberian seorang saudagar dermawan, saudagar Ahmad dari desa sebelah, sedikit pesangon dari saudagar itu untuk Kyai Fuad.
“ Inggih Kyai . . “
“ Cepat Min, aku mau ngimami sholat di Masjid kampung Rawa.”
“ Inggih Kyai.”
Segera Samin meloncat dari kasur empuknya, sebuah bayan yang terbuat dari bambu berukuran 3m x 2m. Segera ia bersihkan diri dan berwudlu di sungai di belakang rumahnya. Tak terasa kalau pagi itu adalah jam setengah empat, namun dipaksakan dirinya ‘tuk melawan dinginnya air pegunngan dan angin pagi yang terasa menusuk tulang. Rahang atas dan bawahnya tak henti – hentinya beradu seiraman dengan derasnya air sungai yang tertabrak batu – batu terjal. Tapi diantara itu semua, dia sangat senang hidup di desa ini, sangat permai, jauh dari kebisingan kendaraan – kendaraan bermotor dan memiliki udara yang sehat tanpa polusi. Ditambah lagi penduduknya yang ramah dan sangat kekeluargaan membuat Samin tak ingin pergi dari desa Tambak Sari ini.
Setelah membersihkan diri, dengan berselimut handuk dilangkahkan kembali kakinya menuju kedalam rumah, dan betapa kagetnya ia melihat gurunya tergeletak dengan darah yang masih mengalir deras di perutnya. Samin hanya melihat terdiam, kaki kakinya tak bisa digerakkan, matanya hanya bisa melihat gurunya meregang nyawa dan berusaha menggapai dirinya. Baju koko yang tadinya putih kini telah menjadi merah, jenggot putih lebat yang sangat di banggakan oleh gurunya itu kini terbanjiri oleh darah yang keluar dari mulutnya. Lidahnya kelu tak berucap. Kyai Fuad terlihat ingin menyampaikan sesuatu yang pasti akan menjadi kata – kata terakhirnya, “ Sa. . b. . b. .”, terputus, Kyai Fuad terus mencoba agar murid yang paling ia sayangi itu bisa mengerti,” Sa. .b. .bb . .aarrrr. . le. . “. Samin tahu, semuanya telah terlambat.
Sudah tak ada lagi suara, sunyi. Dari kejauhan terdengar sayup – sayup adzan dari kampung Rawa. Gurunya telah tiada, orang yang paling ia hormati, segani dan ia banggakan kini telah tiada. Orang yang selalu menasehatinya kini telah bergabung dengan ayah dan ibunya yang telah pertama menghadap Sang Illahi Rabbi. Matahari telah meninggi, para pentakziyah telah berkumpul, sangat banyak dan ramai. Pemakaman Kyai Fuad berjalan dengan lancar, bahkan sangat lancar. Banyak pentakziyah yang menyayangkan kematian Kyai yang telah menjadi panutan mereka itu. Mereka juga mencoba bertanya pada Samin, tapi tatapan Samin kosong menerawang, matanya merah, mukanya sembab dan sekali lagi, lidahnya kelu tak berucap.
Malam ini, akan menjadi aksi kesepuluhnya. Rumah para orang – orang kikir telah ia datangi. Samin mengambil harta yang ia butuhkan untuk diberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan, fakir miskin, yatim piatu, janda – janda tua tak luput darinya. Ada kalanya terbersit kata salah dari dalam dirinya, tapi ia yakin itu benar. Aksinya tak pernah terendus siapa pun, sangat bersih, tak ada yang menyangka jika sorban putih yang diberikan oleh Kyai Fuad adalah sorban yang bisa membuatnya tak terlihat. Aneh memang kenapa itu bisa terjadi. Mata tajamnya terus waspada, meskipun yakin ia tak terlihat Samin terus menatap tajam sekelilingnya. Kini kakinya telah menginjak pekarangan seorang saudagar kaya yang berada di kampung Poh Alus, Poh Alus dan Tambak Sari terpisah oleh dua desa. Saudagar ini bernama Tuan Suhul, seorang yang terkenal sangat kikir di kampungnya, jangankan zakat, sedekah pun ia tak mau. Tuan Suhul adalah seorang lintah darat beristri empat yang sering menyusahkan dan menindas para petani – petani miskin. Tak ada yang berani menentang Tuan Suhul, karena dia memiliki dua pengawal yang kemana – mana selalu melindunginya, Bonar dan Baron. Badan mereka besar dan raut wajah mereka seram.
Samin perlahan – lahan masuk ke dalam rumah Tuan Suhul, dilihatnya Bonar sedang ngorok pulas didepan teras. Pintu dibuka sedikit demi sedikit dan perlahan, “Kriieeet. . .”, memang sangat peka kuping Bonar, suar sekecil itupun bisa membuatnya terbangun. “ Siapa itu!”, teriaknya sigap dan menggelegar. Tapi Saminn telah berhasil masuk dan bersembunyi di balik pintu. Bonar meilihat pintu itu terbuka dan tak menemukan seorang pun disekelilingnya selain suara jangkring dan burung hantu, dia tak menemukan siapa pun. Setelah dirasa aman dirapikan kembali kursi tempat ia tidur ,kembali Bonar ngorok dan Samin yang telah berada di dalam langsung menuju tempat penyimpanan gabah. Diseretnya beberapa karung berisi bakal beras sesuai perhitungan zakat fitrah. Setelah selesai menimbang dipikulnya karung pertama dan kedua menuju keluar. Namun sial, “ Hoey! Siapa itu!”, Baron berteriak, suaranya serak menggelegar. Samin dengan cepat berlari namun tersusul dengan Baron. Awalnya Baron kaget karena karung gabah itu melayang, dengan hati – hati di dekatinya karung itu, tiba – tiba karung itu jatuh menimpa kakinya. Jeritannya lumayan keras, Samin dengan cepat memukul kepala Baron hingga ia tergeletak pingsan. Samin segera keluar dari rumah itu tiga karung gabah di pikulnya dan segera ia bagikan kepada petani yang membutuhkan, kepada orang – orang miskin, dan anak – anak yatim piatu.
Matahari telah muncul ketika gabah terakhir diberikan, sudah tak ada lagi sisa gabah di karung gabah. Kini tugasnya telah selesai, dilepaskan sorban putihnya, dan wajahnya menatap sinar sang surya, “ Kyai, mungkin ini salah, tapi biarlah aku yang menanggung dosanya. Mereka telah banyak menderita, setidaknya aku bisa sedikit meringankan beban mereka.”, katanya lirih. Langkahnya ringan, orang – orang kikir telah iya bersihkan hartanya untuk tahun ini. Ada rasa senang didalam hatinya, namun ada sedikit penyesalan di dalamnya, aku adalah seorang maling, gumamnya. Di ingatnya kembali ajaran – ajaran yagn telah gurunya berikan, aqidah, akhlak, fiqih, hukum – hukum Islam, semua telah ia hafal diluar kepala belum lagi tafsir Al-qur’an dan hadist nabi. Sesekali kepalanya mendongak, menghadap matahari, merasakan betapa lemahnya dirinya dihadapan sang surya itu. Dihitungnya kembali apa yang akan dia dapatkan apabila orang lain tahu kalau selama ini santri Kyai Fuad yang paling disayang adalah seorang maling. Bukan dirinya yang ia kuatirkan, namun nama gurunya tercinta yang ia pikirkan. Ayangnya menerawang, suara – suara kicauan burung membawa angannya lebih jauh. Desa ini sangat permai, hijau nan indah. Suara aliran air sungai menggema menemani setiap langkah Samin. Ditertawakan kembali para orang – orang kikir yang hartanya ia ambil. Meringis, menjerit, pingsan, bahkan ada yang menggigil, takut setengah mati. Kenapa mereka seperti itu?, tanyanya dalam hati. Harta bukan satu – satunya yang dapat membahagiakan mereka. Harta yang barokah yang bisa menyelamatkan mereka di dunia ataupun di akhirat.
MAKAM ISLAM DESA TAMBAK SARI, tempat Samin berdiri sekarang, “Assalamu’alaikm yaa ahlil kubur. . “, ucapnya pada setiap nisan – nisan bisu yang ia lewati. Langkahnya hati – hati, tak ingin menginjak tanah yang salah. Kadang ia berjinjit, ia ingat ucpan Kyai Fuad, tak boleh menginjak tanah diantara pakem kepala dan pakem kaki. Sedikit lagi Samin akan tiba di tempat peristirahatan gurunya. Di bawah pohon kamboja yang teduh nan rindang, terbujur sudah maha guru yang sagat ia kagumi, Kyai Fuad. “ Assalamu’alaikum . .”, dicabutnya kembali rumput – rumput liar yang tumbuh, “ Rumputnya sampun tumbuh Kyai.”, komat – kamit bibirnya melafadzkan Surat Yasiin, khusu untuk Kyainya. “ Mulih ae le. . “, tiba – tiba suara itu muncul. Juru kunci makam, Syueb. ” Inggih, sekedap mawon pak. .”, juru kunci itu sepertinya tahu akan kesedihan yang ada di hati Samin. Samin segera menengadahkan tangannya dan berdo’a untuk keselamatan gurunya. Setelah selesai, Samin berjalan keluar makam.
“ Aku ngerti le. . “, kata Pak Syueb membuka pembicaraan.
“ Saben wong pasti punya kanangan. .”
“ Kenangan?”, tanya Samin.
“ Ya. . . orang – orang disini, yang telah mati disini. Saben wong pasti punya kenangan dengan mereka. Saben dinane aku mesti weruh siapa – siapa wong sing nangis nang kene. Termasuk awakmu.”
“ Kulo?”
“ Iyo. . senajan awakmu nggak nangis nang njobo, tapi mesti nangis nang njeruh.”, kata Pak Syueb sambil menunjuk dada Samin.
“ Sing wis mati pasti ninggal pesan nang wong sing urip”, lanjut Pak Syueb.
“ Nopo niku?”
“ Aku yo gag weruh, yang tahu, yo awakmu dewe.”
Kata – kata Pak Syueb itu sangat berbekas di hati Samin. Pesan? Pesan apa yang Kyai berikan padaku?, gumamnya. Pada suatu hari Samin mendengar para orang – orang yang dulu rumahnya ia rampok sedang mengadakan pertemuan tertutup. Ia tak tahu apa yang akan direncanakan oleh orang – orang itu. Sepuluh orang – orang kaya dari sepuluh desa berkumpul. Mereka membahas bagaimana caranya untuk menjebak dan menghabisi orang yang telah berani mengambil dan menguras harta mereka. Empat orang dipilih untuk mencari, menjebak dan menghabisi pencuri itu. Empat orang itu adalah wakil dari para tengkulak, rentenir dan saudagar – saudagar kikir yang telah Samin rampok.
Samin menjalani hari – harinya dengan tenang, dia tak tahu apa yang akan menimpa dirinya. Setiap hari ia mengajar ngaji di musholla yang dibangun oleh Kyai Fuad dan para warga. Penghasilan bukna hal yang utama. Saat panen tiba, dia memanen bersama warga. Sawah yang dia punya adalah sawah peninggalan dari Kyai Fuad. Penghasilan bukan hal yang utama yang dia pikirkan tapi, “ Lillahi ta’ala. . “, jawabnya kepada setiap orang yang bertanya kenapa dia tak memungut biaya apapun dari pekerjaannya. Begitulah Samin, pemuda desa yang semenjak kecil telah dididik agama dengan sangat baik. Tak pernah mengeluh dan selalu tersenyum kepada setiap orang. Wajahnya memancarkan pribadi yang cerdas dan berwawasan luas.
Malam ini Samin akan berkeliling, tak lupa sorban sakti peninggalan gurunya ia bawa. Sorot matanya tetap waspada pada sekelilingnya. Malam ini dia tidak ingin mencuri. Samin hanya ingin memeriksa keadaan di desanya. Samin terkejut mendengar teriakkan yang berasal dari salah satu rumah warga. Dengan berhati – hati Samin mendekati rumah itu, rumah itu tampak sepi, tapi ia yakin teriakkan itu berasal dari rumah ini. Dibukanya pelan – pelan pintu rumah itu, dan dengan cepat masuklah Samin kedalam. Namun naas, benda keras itu membentur kepalanya dan ia jatuh tersungkur.
Dalam tidurnya ia seperti berada di suatu tempat yang sangat indah. Dia tak tahu berada dimana. Namun Samin terus berjalan dan berjalan, dan betapa terkejutnya dia, sesosok laki – laki tua, berjanggut putih dan berpakaian serba putih menyambut dirinya.
“ Kyai!”, dengan cepat dipeluknya orang yang sangat dirindukannya itu.
“ Sudah le. . kan sudah Kyai pesan. . . Sabar, sabar. . wis lali ta?”
Teringatnya kembali akan saat – saat dimana Kyai Fuad meregang nyawa, kata samar – samar itu adalah, sabar.
“ Kyai sudah enak disini. Wis nggak usah terlalu terbebani dengan kematian Kyai. . lebih baik, selesaikan apa yang sudah kamu lakukan. Ingat, Allah itu lebih dekat daripada urat nadi kita. . .”
Kemudian sosok itu pergi. Samin sadar, bahwa selama ini, dia hanya dihantui rasa bersalah karena tidak bisa menolong Kyai. Senyum di wajah Kyai Fuad menandakan kedamaian, dan Samin sadar sekarang sudah saatnya untuk bangkit dan tidak bersedih kembali. Tiba – tiba, secercah cahaya datang dengan cepat menembus raga Samin dan dengan cepat Samin tersadar dalam tidurnya.
Samin menyadari dirinya terikat kuat pada borgol. Dicobanya untuk menggerakkannya, namun gagal. Sekelilingnya terasa mencekam, hanya lampu gantung yang sekarang berada di atasnyalah satu – satunya penerangan dirinya. Dari luar Samin mendengar kalau orang – orang jahat itu akan membunuhnya besok pagi. Mungkin ini sudah takdirnya. Tapi Samin yakin kalau ini belum takdirnya untuk mati. Karena dia belum mengetahui, siapa pembunuh Kyai Fuad. Kini, satu –satunya cara adalah percaya pada Allah, bukankah Dia lebih dekat dari pada urat nadi kita, gumamnya. Dibacalah surat Al – Fatihah 333 kali. Diyakinkan dirinya bahwa bila Allah menghendaki maka tak ada yang tak mungkin. Setelah membaca Al – Fatihah sebanyak 333 kali, digoyangkan sedikit borgol itu, dan dengan seizin-Nya borgol itu terlepas dari tangannya. “ Alhamdulillahi robbil’alamin. . “, syukurnya. Dengan hati – hati ia melangka, tak ingin satu orang pun mendengar langkahnya. Dibukanya pintu keluar ruangan itu. Sekali lagi, sepi. Rumah itu kelihatannya kosong. Hanya lampu minyak yang menempel di dindingnya yang menjadi penerang. Tiba – tiba.
“ Hey! Siapa itu??!!”, Samin menoleh kebelakang. Orang itu Baron, salah satu anak buah Tuan Suhul.
“ Hey juga. Bukankah kita sudah pernah bertemu? Baron.”
“ Kau Samin! Bagaimana caramu keluar??! Kuhabisi kau sekarang!”, pukulan dari Baron sangat cepat, tapi Samin tak kalah sigap. Baron hanya memukul angin. Dengan cepat Samin mendaratkan pukulannya di tengkuk Baron. Seketika Baron roboh. “ Aku hanya percaya pada Tuhanku.”, Samin meninggalkan tubuh kekar Baron disana.
Dia berlari. Sekali lagi, kini kakinya terjegal. Bonar ada di hadapannya sekarang.
“ Kau tak mungkin lolos dariku Samin. . “, tendangan Bonar tepat kena di perut Samin. Samin mulas dan darah segar keluar dari mulutnya. Samin mencoba berdiri namun pukulan Bonar menahannya. Bonar tersenyum bengis. Untuk yang ketiga kalinya Bonar mencoba melumpuhkan Samin, namun Bonar sial, Samin menendang pergelangan kakinya, Bonar ling – lung dan roboh. Disumbatnya mulut Bonar dan dilumpuhkannya kaki dan tangan Bonar. Kembali Samin melangkah dengan sedikit terseok – seok. Meninggalkan wajah meringis Bonar disana. Dua orang, berapa lagi yang akan aku hadapi?, gumamnya.
Samin tak pernah berhenti, dia terus berjalan – matanya menunjukkan dia akan melakukan amar ma’ruf nahi munkar disini.
“ Tak pernah ada sebelumnya yang berhasil lolos dari jeratanku Samin. Tapi kau bisa, luar biasa.”, laki – laki paruh baya dengan wajah yang berambisi menghadangnya.
“ Biarkan aku lewat, aku harus bertemu mereka.”
“ Kenapa terburu – buru Samin? Siapa yang mau kau temui?”, senyumnya menghina.
“ Sepuluh orang jahanam itu!”
“ Hah! Beraninya kau!”, gerakkan orang itu lebih cepat dua kali lipat dari Baron dan Bonar. Tangannya meninju kesana dan kemari namun tak satupun yang mengenai Samin. Gerakkan kakinya juga sangat cepat, tendangannya mengenai dada Samin. Samin terlempar sepanjang dua meter dan terdorong sepanjang dua meter. Dadanya sangat sakit. Dari mulutnya mengalir darah segar.
“ Bagaimana Samin? Kau masih ingin maju?”, orang itu melangkah pelan, senyumnya sangat merendahkan. Samin menatap orang itu tajam.
“ Dasar kau! Jangan menatap ku seperti itu!”, orang itu menendang. Samin tak tahu dari mana datangnya kekuatan itu. Samin menghentikan tendangan orang itu dan melemparkannya. Samin mencoba bangkit kembali. Dikuatkan kembali dirinya.
“ Sudah kubilang, aku ingin bertemu dengan mereka. Kalau boleh aku tahu siapa namamu?”, Samin melihat darah segar juga keluar dari mulut orang itu.
“ Namaku Jahal! Ingat itu di neraka!”, Jahal bangkit dan datang dengan sangat cepat. Kepalan tangannya berubah keras. Samin merasa tak ada tempat menghindar. Namun tiba – tiba senyum gurunya muncul. Tiba – tiba. . . kaki kanan Samin telah berada di muka Jahal. Pukulannya terhenti. Kaki Samin memang panjang. Pukulan keras Jahal terhenti. Jahal roboh seketika, dia tidak mati, hanya pngsan. Seperti yang dilakukan Samin pada dua orang sebelumnya, dibungkam dan diikatnya Jahal kemudian dimasukkan tubuh jahal di satu ruangan dan dikuncinya rapat – rapat ruang itu.
“ Yang aku sayangkan adalah, kenapa namamu persis dengan musuh Nabi?”, kini dia semakin dekat dengan ruang dimana sepuluh orang itu berkumpul. Namun sekali lagi langkahnya terhenti.
“ Ada kalanya kematian itu menjadi pilihan yang terbaik. Benarkan, Samin?”, sosok itu tak pernah terpikir.
“ Jangan kau terkejut seperti itu. . “, kata orang itu.
“ Pak Syueb? Tapi . . tapi kenapa?”, Samin bingung dan tak percaya.
“ Aku tahu semuanya Samin. Kau adalah maling itu kan? Kau memiliki sorban sakti yang hanya mereka berikan kepada kakakku saja.”
“ Kakak?”, tanya Samin bingung.
“ Jelas kan? Orang yang selalu kau hormati, yang selalu kau banggakan, yang selalu kau kirim do’a di kuburnya.”
“ Kyai Fuad?”, kata Samin lirih.
“ Benar sekali. Itu yang membuatku cemburu, itu yang membuatku sangat iri padanya! Kenapa selalu dia! Kenapa? Apa karena dia seorang Kyai dan aku adalah dukun!?”, Syueb menjadi beringas. Bibrnya komat – kamit dan seketika ia menghilang. Samin kembali waspada. Dilihat sekelilingnya, kosong. Matanya melirik kesan kemari, tajam penuh kewaspadaan.
“ Aku tak ingin ajarannya ada di bumi ini! Akan ku bunuh semua yang mengamalakan ajarannya! Berarti itu kau! Samin.”
Tiba – tiba tendangan datang dari arah kiri, kanan dan atas. Samin roboh seketika. Serangan itu sama sekali tak terperkirakan. Samin menahan sakit di perut, dada dan sekarang di kepalanya. Bajunya sudah sobek. Satu hal yang membuat Samin bingung. Pak Syueb adalah adik Kyai Fuad?, tanda tanya itu terus bergelayut di kepalanya. Sementara ia berpikir, tendangan itu datang lagi, kini berasal dari belakang. Tuibuh Samin seperti perahu di tengah gelombang, terlempar kesana kemari. Suar tawa mengerikan menggema di ruangan yang sunyi itu.
“ Apa kau tak takut Samin? Kau sekarang sendiri disini. Tak ada yang menemanimu, dan sepertinya ajalmu sudah dekat Samin. Hahaha!”, tawa Syueb menguatkan hati Samin, dan membuat dia semakin percaya, Allah sangat dekat dengan kita, lebih dekat dari urat leher.
“ Kau tak kan bisa mengalahkan kekuatan – Nya wahai Iblis!”, teriak Samin.
“ Apa!!! Kau tak mengakui kekuatanku!? Hanya aku yang bisa membuatmu hidup atau mati sekarang!”
“ Tidak! Kau bukan siapa – siapa dimataku selain seorang pengecut!”, kata – kata Samin membuat darah Syueb mendidih. Dia sangat marah.
“ Kurang ajar kau!!”, Syueb menyerang dari arah belakang. Tapi. .
“ Ah. . .argh. . ! kenapa?? Kenapa ini?!”, tubuh Syeb terasa terbakar, dia berteriak – teriak. Ternyata Samin membaca Ayat Kursi, dan itu menjaganya dari kejahatan yang lain. Samin membiarkan tubuh Syueb meregang, “ Kenapa kau tak percaya Tuhanmu?”.
Samin melangkah dengan sisa tenaga yang ada. Kini ia harus membuka pintu yang ada di depannya. Dibukanya pintu itu pelan – pelan, Samin masuk dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, Allah tak akan kemana – mana. Samin membuka pintu lebar – lebar, dan yang dilihatnya hanya, mayat! Mayat para orang – orang kaya nan kikir itu kini tergeletak dimana – mana tak bernyawa. Dihitungnya mayat – mayat itu, dan ia tahu Tuan Suhul tak ada diantara mayat – mayat itu. “ Tuan Suhul. . ! Tuan. . ! dimana anda??”, Samin mencari di sekitar ruang itu, tiba – tiba. “ Tak usah berteriak seperti itu. Aku sehat saja.”, Tuan Suhul muncul dengan tiba – tiba, badannya penuh noda darah dan sorban itu berada di tangannya.
“ Mereka ingin merebut sorban ini dariku. Jadi, kubunuh saja mereka.”, pernyataan Tuan Suhul membuat merinding bulu Samin.
“ Tuan yang membunuh mereka hanya karena sorban itu?!”
“ Yah . . kau tahu? Ketika aku mendengar sorban ini dari Syueb, aku tak bisa tidur, dan ketika aku tahu sorban itu ada pada Kyai Fuad, kusuruh orang untuk membunuhnya, tapi tetap tak bisa menemukan sorbannya. Itu karena sorban itu ada padamu.”
Darah Samin mendidih.
“ Jadi ternyata pembunuh itu adalah kau!”
“ Hahaha! Jangan sakit hati seperti itu. .”, Samin mengejar Tuan Suhul, namun Tuan Suhul menghilang dengan menggunakan sorban itu. Kadang di kanan, kadang di kiri. Samin terjatuh kesana dan kesini. Tuan Suhul tahu itu kesempatannya, tangannya dikepalkan dan tinjuanpun diluncurkan, namun tiba – tiba Samin sudah meninjunya terlebih dahulu. Tinjuannya telak membuat Tuan Suhul terlempar. Sorbannya terlepas dan Samin mengambilnya.
“ Ke. . napa kau b . .bs. . bisa mel . . iha. . tku?”, tanya Tuan Suhul terbata.
“ Sorban ini mempunyai kelemahan.”
“ A. . a. . pa itu. ?”, Tuan Suhul tak punya banyak tenaga lagi.
“ Sorban in tak pernah mau menuruti perbuatan yang melanggar syariat.”
“ Apa!!! Argh . . !!”, Tuan Sahul pingsan.
Segera diikatnya Tuan Suhul di salah satu tiang. Dipukulnya kentongan dan dipanggilnya para warga untuk membantu menguburkan mayat – mayat para saudagar itu. Para warga tak pernah menyangka jika akan terjadi hal seperti itu di desa mereka. Sepuluh orang meninggal. Samin menceritakan apa yang terjadi, tapi dia sedikit berbohong untuk kebaikan dirinya dan untuk guru yang sangat dia hormati, Kyai Fuad. Kini Samin bisa tenang, dan dalam mimpinya, ia melihat gurunya tersenyum bangga padanya.